Jumat, 29 November 2013

Resume Novel "Bila Malam Bertambah Malam"

                                        Resume Novel Bila Malam Bertambah Malam

Keberadaan karya sastra angkatan '66 ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar Lubis. Karya sastra pada angkatan ini sangat beragam akan aliran sastra yaitu surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini. Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail, dan banyak lagi  yang lainnya.

Salah satu sastrawan yang termashyur pada masa itu adalah Putu Wijaya. Putu Wijaya sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esai, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga telah menulis skenario film dan sinetron. Sebagai seorang dramawan, ia memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron.



Cerita pendek karangannya kerap mengisi kolom pada Harian Kompas dan Sinar Harapan. Novel-novel karyanya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Sebagai penulis skenario, ia telah dua kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Sebagai seorang penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang banyak diperbincangkan adalah Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali.

Karya sastranya yang terkenal salah satunya adalah "Bila Malam Bertambah Malam." Novel ini mengisahkan tentang kesetiaan untuk memelihara cinta yang berbenturan dengan keangkuhan tatanan sosial yang membeda-bedakan manusia, disini mengisahkan bagaimana dalam sebuah keluarga terdapat banyak sekali kepura-puraan. Dalam kepura-puraan itu sebenarnya setiap tokoh mempunyai seuatu perasaan kepada tokoh lain. Kisahnya berlangsung di Tabanan, Bali. Seorang janda bernama Gusti Biang, bangsawan tua sisa-sisa feodalisme Bali, begitu membanggakan kebangsawanannya. Ia hidup di rumah peninggalan suaminya dan dilayani oleh dua pembantu, yaitu seorang lelaki tua bernama Wayan, dan seorang wanita muda bernama Nyoman Niti.
Gusti Biang masih ingin mempertahankan tatanan lama yang menjerat manusia berdasarkan kasta. Tapi putranya, Ratu Ngurah, jatuh cinta kepada Nyoman Niti, pembantu Gusti Biang yang menyadari kemerdekaannya sebagai pribadi. Guncangan pun tak terhindarkan akibat benturan antara nilai-nilai lama yang telah melapuk dan nilai-nilai baru yang hendak mekar. Dan kuncinya ada di tangan Wayan, veteran perang kemerdekaan dan kawan seperjuangan I Gusti Ngurah Rai yang gugur dalam Perang Puputan, yang selama bertahun-tahun setia mengabdi pada keluarga Gusti Biang.




Suatu hari, pada puncak pertengkaran dengan majikan, Wayan meninggalkan  rumah majikannya itu setelah Nyoman pergi mendahuluinya. Akan tetapi, kepergiannya tertunda karena mendengar pertengkaran janda bangsawan itu dengan anaknya yang baru datang dari Pulau Jawa, Ngurah. Karena persoalan bedil yang dibawa Wayan, terbukalah rahasia keluarga itu. Wayan sebenarnya adalah ayah Ngurah, karena suami Gusti Biang, yaitu Gusti Ngurah Ketut Mantri, bukanlah lelaki sejati. Bahkan suami yang selalu dibanggakan sebagai pahlawan itu sebenarnya seorang pengkhianat, sebab ia adalah mata-mata Nica.



Dalam permasalahan keluarga Gusti Biang, sebenarnya ia mencintai Wayan namun karena tidak ingin anaknya mengetahui bahwa ayah aslinya adalah seorang pembantu, maka Gusti Biang mengungkapkan rasa cintanya kepada Wayan dengan membentak-bentak dan memarahi Wayan, namun dalam hatinya berbeda.



Permasalahan juga datang saat Ngurah anak Gusti Biang ingin menikahi Nyoman yang notabene adalah pembantunya sendiri. Gusti Biang menolak jika Ngurah ingin menikahi nyoman kecuali hanya dijadikan selir.
Setelah itu Ngurah yang tahu bahwa I Gusti Ngurah Ketut bukan ayah sebenarnya dan mengetahui bahwa sebenarnya adalah seorang mata-mata Nica maka Ngurah pun perlahan benci. Setelah Bedil yang dimiliki oleh Wayan mengenai I Gusti maka Ngurah pun tidak sedih karena I Gusti dianggapnya sebagai penghianat.
Ketika Wayan membuka rahasia keberadaan Ngurah: Wayanlah ayah kandung Ngurah, Wayanlah yang selalu memenuhi tugas sebagai suami bagi istri-istri I Gusti Ngurah Ketut Mantri yang berjumlah lima belas.



Cerita berakhir dengan kebahagiaan bagi semua: pasangan Ngurah Nyoman, dan pasangan tersembunyi Mirah Wayan. Tenyata motivasi pengabdian dalam keluarga itu adalah agar ia selalu dapat menjaga orang yang dikasihinya, demikian pula motivasi Nyoman. Tanpa motivasi tersebut, mereka sudah lama tidak kuat berdiam di puri tua itu.



Dalam novel ini di ketahui bahwa kemunafikan Gusti Biang yang tidak mau mengungkapkan yang sebenarnya karena Wayan hanyalah seorang pembantu I Gusti Ngurah Ketut dan bagaimana tersiksanya batin Gusti Biang dan Wayan yang sama-sama memendam perasaannya. Selebihnya adalah bagaimana Gusti Biang menutupi kebohongan I Gusti Ngurah Ketut yang selama ini adalah mata-mata Nica dari anaknya sendiri, Ngurah.



Dalam novel ini dapat dilihat bagaimana seorang Putu Wijaya mengonstruksi dan membuat sebuah alur cerita dengan rapi dan bagaimana penulis menjadikan psikologi tokoh digambarkan secara nyata dengan dialog yang singkat namun menghidupkan suasana dalam novel dan klimaks tersebut. Jika kita melihat dalam kenyataan yang nyata, topeng-topeng ini sering dipakai demi menutupi kebohongan-kebohongan yang dilakukan. Tidak hanya dalam rumah tangga, namun dalam berbagai bidang dan yang paling sering adalah masalah percintaan dimana seoserang memanfaatkan berbagai situasi yang ada untuk sebuah kepentingan yang menguntungkan bagi sebagian pihak.




Putu Wijaya juga sukses membuat bagaimana alur itu menjadi sangat hidup dengan pertikaian yang sebenarnya sangat sederhana. Pertikaian yang muncul adalah masalah yang kompleks dan dapat atau sering kita jumpai dalam masyarakat kita. Dalam novel ini juga dapat diambil beberapa pesan moral yaitu dalam sebuah kejujuran memang sangatlah sulit untuk membuat situasi menjadi biasa. Terkadang kejujuran itu membutuhkan sebuah situasi yang jujur dan mampu menanggung segala resiko dengan baik dari segala perbuatan, sehingga topeng kemunafikan itu pun dapat disingkirkan.



Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar