Resume Novel Bila Malam Bertambah Malam
Keberadaan karya sastra angkatan '66
ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar Lubis.
Karya sastra pada angkatan ini sangat beragam akan aliran sastra yaitu
surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit Pustaka Jaya sangat
banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini. Beberapa
satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta,
Arifin C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma,
Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail, dan
banyak lagi yang lainnya.
Salah
satu sastrawan yang termashyur pada masa itu adalah Putu Wijaya. Putu Wijaya sudah
menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan
esai, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga telah menulis skenario film dan
sinetron. Sebagai seorang dramawan, ia memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan
telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Puluhan penghargaan
ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron.
Cerita
pendek karangannya kerap mengisi kolom pada Harian Kompas dan Sinar Harapan.
Novel-novel karyanya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison.
Sebagai penulis skenario, ia telah dua kali meraih piala Citra di Festival Film
Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Sebagai
seorang penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang
banyak diperbincangkan adalah Bila Malam
Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali.
Karya sastranya yang terkenal salah satunya adalah "Bila
Malam Bertambah Malam." Novel ini mengisahkan tentang kesetiaan untuk
memelihara cinta yang berbenturan dengan keangkuhan tatanan sosial yang
membeda-bedakan manusia, disini mengisahkan bagaimana dalam sebuah keluarga
terdapat banyak sekali kepura-puraan. Dalam kepura-puraan itu sebenarnya setiap
tokoh mempunyai seuatu perasaan kepada tokoh lain. Kisahnya berlangsung di
Tabanan, Bali. Seorang janda bernama Gusti Biang, bangsawan tua sisa-sisa
feodalisme Bali, begitu membanggakan kebangsawanannya. Ia hidup di rumah
peninggalan suaminya dan dilayani oleh dua pembantu, yaitu seorang lelaki tua
bernama Wayan, dan seorang wanita muda bernama Nyoman Niti.
Gusti Biang masih ingin mempertahankan tatanan lama yang
menjerat manusia berdasarkan kasta. Tapi putranya, Ratu Ngurah, jatuh cinta
kepada Nyoman Niti, pembantu Gusti Biang yang menyadari kemerdekaannya sebagai
pribadi. Guncangan pun tak terhindarkan akibat benturan antara nilai-nilai lama
yang telah melapuk dan nilai-nilai baru yang hendak mekar. Dan kuncinya ada di
tangan Wayan, veteran perang kemerdekaan dan kawan seperjuangan I Gusti Ngurah
Rai yang gugur dalam Perang Puputan, yang selama bertahun-tahun setia mengabdi
pada keluarga Gusti Biang.
Suatu hari, pada puncak pertengkaran dengan majikan, Wayan
meninggalkan rumah majikannya itu
setelah Nyoman pergi mendahuluinya. Akan tetapi, kepergiannya tertunda karena
mendengar pertengkaran janda bangsawan itu dengan anaknya yang baru datang dari
Pulau Jawa, Ngurah. Karena persoalan bedil yang dibawa Wayan, terbukalah
rahasia keluarga itu. Wayan sebenarnya adalah ayah Ngurah, karena suami Gusti
Biang, yaitu Gusti Ngurah Ketut Mantri, bukanlah lelaki sejati. Bahkan suami
yang selalu dibanggakan sebagai pahlawan itu sebenarnya seorang pengkhianat,
sebab ia adalah mata-mata Nica.
Dalam permasalahan keluarga Gusti Biang, sebenarnya ia
mencintai Wayan namun karena tidak ingin anaknya mengetahui bahwa ayah aslinya
adalah seorang pembantu, maka Gusti Biang mengungkapkan rasa cintanya kepada
Wayan dengan membentak-bentak dan memarahi Wayan, namun dalam hatinya berbeda.
Permasalahan juga datang saat Ngurah anak Gusti Biang ingin
menikahi Nyoman yang notabene adalah pembantunya sendiri. Gusti Biang menolak
jika Ngurah ingin menikahi nyoman kecuali hanya dijadikan selir.
Setelah itu Ngurah yang tahu bahwa I Gusti Ngurah Ketut bukan
ayah sebenarnya dan mengetahui bahwa sebenarnya adalah seorang mata-mata Nica
maka Ngurah pun perlahan benci. Setelah Bedil yang dimiliki oleh Wayan mengenai
I Gusti maka Ngurah pun tidak sedih karena I Gusti dianggapnya sebagai
penghianat.
Ketika Wayan membuka rahasia keberadaan Ngurah: Wayanlah ayah
kandung Ngurah, Wayanlah yang selalu memenuhi tugas sebagai suami bagi
istri-istri I Gusti Ngurah Ketut Mantri yang berjumlah lima belas.
Cerita berakhir dengan kebahagiaan bagi semua: pasangan Ngurah
– Nyoman, dan pasangan
tersembunyi Mirah – Wayan. Tenyata
motivasi pengabdian dalam keluarga itu adalah agar ia selalu dapat menjaga
orang yang dikasihinya, demikian pula motivasi Nyoman. Tanpa motivasi tersebut,
mereka sudah lama tidak kuat berdiam di puri tua itu.
Dalam novel ini di
ketahui bahwa kemunafikan Gusti Biang yang tidak mau mengungkapkan yang
sebenarnya karena Wayan hanyalah seorang pembantu I Gusti Ngurah Ketut dan
bagaimana tersiksanya batin Gusti Biang dan Wayan yang sama-sama memendam
perasaannya. Selebihnya adalah bagaimana Gusti Biang menutupi kebohongan I
Gusti Ngurah Ketut yang selama ini adalah mata-mata Nica dari anaknya sendiri,
Ngurah.
Dalam novel ini dapat
dilihat bagaimana seorang Putu Wijaya mengonstruksi dan membuat sebuah alur
cerita dengan rapi dan bagaimana penulis menjadikan psikologi tokoh digambarkan
secara nyata dengan dialog yang singkat namun menghidupkan suasana dalam novel
dan klimaks tersebut. Jika kita melihat dalam kenyataan yang nyata,
topeng-topeng ini sering dipakai demi menutupi kebohongan-kebohongan yang
dilakukan. Tidak hanya dalam rumah tangga, namun dalam berbagai bidang dan yang
paling sering adalah masalah percintaan dimana seoserang memanfaatkan berbagai
situasi yang ada untuk sebuah kepentingan yang menguntungkan bagi sebagian
pihak.
Putu
Wijaya juga sukses membuat bagaimana alur itu menjadi sangat hidup dengan
pertikaian yang sebenarnya sangat sederhana. Pertikaian yang muncul adalah
masalah yang kompleks dan dapat atau sering kita jumpai dalam masyarakat kita.
Dalam novel ini juga dapat diambil beberapa pesan moral yaitu dalam sebuah
kejujuran memang sangatlah sulit untuk membuat situasi menjadi biasa. Terkadang
kejujuran itu membutuhkan sebuah situasi yang jujur dan mampu menanggung segala
resiko dengan baik dari segala perbuatan, sehingga topeng kemunafikan itu pun
dapat disingkirkan.
Sumber
: