Asal Usul Perkembangan Ekonomi Islam
Salah satu misi Rasulullah di utus ke dunia ini oleh Allah adalah membangun rakyat yang beradab. Langkah awal yang dilakukan nabi Muhammad menanamkan pemahaman keimanan dan keberadaannya di muka bumi ini. Ajaran nabi menjadikan manusia sebagai pribadi yang bebas dalam mengoptimalkan potensi dirinya. Kebebasan merupakan unsur kehidupan yang paling mendasar dipergunakan sebagai syarat untuk mencapai keseimbangan hidup. Nilai-nilai manusiawi inilah yang menyebabkan ajaran nabi Muhammad berlaku hingga akhir zaman.
Setelah wafatnya Nabi kepemimpinan dipegang oleh Khulafa al Rasyidin, berbagai perkembangan, gagasan dan pemikiran muncul pada masa itu., hal ini tercermin dari kebijakan-kebijakan yang berbeda antar Khalifah itu sendiri, kebijakan-kebijakan itupun muncul sebagai akibat dari munculnya masalah-masalah baru. Salah satunya pemenuhan kehidupan masyarakat dibidang Ekonomi sehingga problem teknis untuk mengatasi masalah-masalah perniagaan muncul pada waktu itu.Sejumlah aturan yang bersumberkan al Qur’an dan Hadist Nabi hadir untuk memecahkan problem ekonomi yang ada. Masalah ekonomi menjadi bagian yang penting pada masa itu.
Pemikiran ekonomi Islam dimulai sejak Muhammad dipilih menjadi Rasul, beliau mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut dengan kemaslahatan ummat, selain masalah hkum, politik juga masalah ekonomi atau perniagaan-mu’amalat.masalah ekonomi rakyat menjadi perhatian Rasulullah karena masalah itu merupakan pilar penyangga keimanan yang harus diperhatikan, hal ini terbukti dengan adanya Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, rasulullah bersabda yang artinya :
“Kemiskinan membawa kepada kakafiran.”
Maka upaya membrantas kemiskinan merupakan bagian dari kebijakan Rasulullah S.A.W. Selanjutnya kebijakan-kebijakan Rasulullah menjadi pedoman oleh pada penggantiNya yaitu Khulafa al Rasyidin dalam memutuskan kebijakan-kebijakan ekonomi. Al Qur’an dan Hadist menjadi sumber dasar sebagai teori ekonomi.
Pada masa pemerintahan Rasulullah, perkembanagn ekonomi tidaklah begitu besar dikarnakan sumber-sumber yang ada pada masa itu belum begitu banyak. Sampai tahun ke empat hijrah, pendapatan dan sumber daya negara masih sangat kecil. Kekayaan pertama datang dari banu Nadar, suatu suku yang tingggal di pinggiran Madinah. Kelompok ini masuk dalam pakta madinah tetapi mereka melanggar perjanjian bahkan berusaha untuk membunuh Rasulullah.
Nabi meminta mereka untuk meninggalkan kota namun mereka menolaknya. Nabipun menyerahkan tentara dan mengepung mereka. Akhirnya mereka menyerah dan setuju meninggalkan kota dengan membawa barang-barang sebnayak daya angkutan Unta, kecuali baju baja-besi. Semua milik banu Nazir yang ditinggalkan menjadi milik kaum muslimin. Rasulullah membagikan tanah ini sebahagian besar kepada Muhajirin dan orang-orang Anshar yang miskin.
Pendapatan utama pada masa rasulullah.
a. Pendapatan Primer.
Pendapatan utama pada masa ini adalah Zakat, yang berbeda dengan pajak. Zakat tidak diperlakukan dengan paja. Zakat merupakan kewajiban agama dan termasuk pilar islam. Pengeluaran dan penyaluran zakat ini diatur secara jelas dalam al Qur’an surah at Taubah ayat 60 yang artinya “Sesungguhnya zakat-xakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin,badan kepengurusan zakat, para Mu’allaf-orang yang baru masuk islam-yang dibujuk hatinya, untuk-memerdekakan-budak,orang-orang yang berhutang-untuk keperluan agama,untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
b. Sumber pendapatan sekunder.
Beberapa pendapatan sekunder :
uang tebusan untuk para tawanan perang. Harta karun temuan pada periode sebelom Islam. Harta benda kaum Muslimin yang meninggalkan negerinya. Wakaf harta benda yang di indikasikan kepada ummat Islam pendapatannya di depositokan ke Baitul mal.
Nawaib, yaitu pajak yang dibebankan kepda kaum muslimin yang kaya-borjuis.
Zakat Fitrah.
Sedekah seperti korban dan korban dan Kaffarat- denda atas kesalahan yang dilakukan kaum Muslimin pada acara ke agamaan seperti berburu pada musim haji.
Itulah beberapa usaha untuk memperkembang ekonomi Islam yang dilakakukan beliau pada masa itu. Tanpa kita sadari ternyata perkembangan tersebut terus maju hingga saat ini.
B. Pengertian Ekonomi dan Ilmu Ekonomi
Definisi ilmu ekonomi yang spesifik adalah, disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana cara tiap individu atau segolongan masyarakat bertindak dalam proses produksi, konsumsi, dan alokasi barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan yang tidak terbatas jumlahnya dengan sumber-sumber yang terbatas adanya.
Professor Samuelson, dengan tekun dan cermat mencoba memformulasikan sebuah definisi umum tentang ilmu ekonomi yang menurutnya dapat atau diterima oleh ahli-ahli ekonomi yang lain. Menurut beliau, ilmu ekonomi adalah studi mengenai cara-cara manusia dan masyarakat menentukan/menjatuhkan pilihannya, dengan atau tanpa menggunakan uang untuk menggunakan sumber-sumber produktif yang langka yang dapat mempunyai penggunaan-penggunaan alternatif, untuk memproduksi berbagai barang serta membagikannya untuk dikonsumsi, baik untuk waktu sekarang maupun yang akan datang. ilmu ekonomi itu menganalisis besarnya biaya-biaya serta keuntungan-keuntungan yang terjadi karena adanya perbaikan di dalam pola alokasi sumber-sumber.
Dari berbagai definisi ilmu ekonomi di atas, dapatlah disimpulkan dua macam pendekatan ilmu ekonomi yaitu pendekatan ilmu ekonomi yang bersifat umum dan pendekatan ekonomi yang bersifat khusus. Secara umum ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari tentang cara bagaimana individu dan masyarakat bahkan negara menghasilkan sumber daya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan yang alternatif sifatnya. Sedangkan ilmu ekonomi dalam konteksnya yang terbatas atau spesifik, ialah ilmu yang mempelajari tentang cara bagaimana individu itu berperilaku/bertindak dalam produksi, konsumsi dan distribisi barang atau jasa guna memuaskan keinginannya yang tidak terbatas dihubungkan dengan sumber-sumber daya yang terbatas dan alternatif sifatnya.
C. Ekonomi dan Ilmu Ekonomi Islam/Syari’ah
Ilmu ekonomi Islam/Syari’ah adalah ilmu yang membahas perihal ekonomi dari berbagai sudut pandang keislaman (filsafat, etika dan lain-lain) terutama dari aspek hukum atau syariahnya. Menurut M. A. Mannan, Ilmu Ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.
Ini tidak berarti ekonomi Islam hanya diproyeksikan untuk orang-orang yang beragama Islam, karena Islam memperbolehkan umatnya untuk melakukan transaksi ekonomi dengan orang-orang non Muslim sekalipun. Hanya saja, tentu Islam menghendaki agar umat Islam sendiri justru menjadi pelopor dan pengawal dari sistem ekonomi itu sendiri yang dimilikinya.
Sebagai agama yang oleh Al-Qur’an dijuluki agama terlengkap dan tersempurna, Islam memiliki dan mempersembahkan konsep-konsep pemikiran ekonomi yang filosofis, nilai-nilai etika ekonomi yang moralis, dan norma-norma hukum ekonomi yang tegas dan jelas. Di atas akar tunggang akidah Islamiah yang kokoh, dan dibingkai dengan tiga pilar utama (konsep yang filosofis, nilai etika yang moralis, dan hukum yang normatif aplikatif), sistem ekonomi Islam seyogyanya siap bersaing dengan teori-teori ekonomi yang manapun.
D. Ciri-Ciri Utama Ekonomi Islam/Syari’ah
Tidak ada kesaman pendapat dikalangan ahli-ahli ekonomi Islam/Syari’ah sendiri mengenai ciri-ciri utama atau ciri-ciri khusus dari sistem ekonomi Islam/Syari’ah. Prof. Dr. Ali Ahmad as-Salus, guru besar fiqh-ushul fiqh pada Fakultas Syari’ah Universitas Qhatar, misalnya, menyebutkan delapan ciri utama ekonomi Islam. Sementara Muhammad Rawas Qal’ah-ji, pakar hukum dan ekonomi Islam lainnya menyebutkan dan merincikan ke dalam 13 ciri utama ekonomi Islam yang menyebabkan sistem ekonomi ini berbeda dari sistem ekonomi konvensional. Berikut ini adalah beberapa prinsip ekonomi Islam yang dimaksudkan sebagai berikut.
1) Ekonomi Islam pengaturannya bersifat ketuhanan/ilahiah, mengingat dasar-dasar pengaturannya yang tidak diletakkan oelh manusia, akan tetapi didasarkan pada aturan-aturan yang ditetapkan Allah SWT. sebagai mana terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Jadi, berbeda dengan hukum ekonomi lainnya yakni kapitalis dan sosialis yang tata aturannya semata-mata didasarkan atas konsep-konsep/teori-teori yang dihadirkan oleh manusia yang sarat dengan kepentingan dirinya sendiri.
2) Ekonomi Islam berdimensikan akidah atau keakidahan, mengingat ekonomi Islam itu pada dasarnya terbit atau lahir (sebagai ekspresi) dari akidah Islamiah, yang di dalamnya akan dimintakan pertanggung jawaban terhadap akidah yang diyakininya. Dalam pandangan Islam, seseorang menjadi terikat dengan seagian kewajibannya semisal zakat, infak sedekah dan lain-lain walaupun dia sendiri harus kehilangan sebagian kepentingan dunianya karena lebih cenderung untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT. di hari kiamat kelak.
3) Berkarakter ta’abbidi, mengingat ekonomi Islam itu merupakan tata aturan yang berdimensikan ketuhanan, dan setiap ketaatan kepada salah satu dari sekian banyak aturan-aturan Allah berarti ketaatan kepada-Nya, dan setiap ketaatan kepada Allah itu adalah ibadah. Sebaliknya, penerapan aturan-aturan ekonomi Islam adalah juga ibadah kepada-Nya.
4) Memiliki target sasaran/tujuan, yang lebih tinggi. Berlainan dengan sistem ekonomi non Islami (konvensional) yang semata-mata hanya untuk mengejar kepuasan materi, ekonomi Islam memiliki sasaran yang lebih jauh yakni merealisasikan kehidupan kerohanian yang lebih tinggi (berkualitas) dan pendidikan kejiwaan yang tenteram.
5) Perekonomian yang stabil/kokoh. Kekhususan ini antara lain dapat dilihat dari kenyataan bahwa Islam mengharamkan praktek bisnis yang membahayakan umat insani apakah itu bersifat perorangan maupun kemasyarakatan seperti pengharaman riba, penipuan, perdagangan hamr dan jaringan-jaringan kemaksiatan lainnya.
6) Perekonomian yang berimbang, maksudnya ialah bahwa perekonomian yang hendak diwijudkan oleh ekonomi Islam ialah ekonomi yang berkeseimbangan antara kepentingan individu dan sosoal, antara kebutuhan duniawi dan pahala akhirat, serta keseimbangan antara tuntutan fisik-biologis dan kebutuhan psikis-rohaniah, antara sikap boros dan watak hemat.
7) Harta kekayaan itu pada hakekatnya adalah milik Allah SWT. dalam prinsip ini terkandung maksud bahwa kepemilikan seseorang terhadap harta kekayaan tidaklah bersifat mutlak. Dalam Islam pendayagunaan harta kekayaan itu tetap harus dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan tuntunan sang Maha Pemilik yang sesungguhnya yaitu Allah SWT. siapapun tidak boleh sewenang-wenang membelanjakan harta kekayaannya dengan dalih bahwa harta kekayaan itu milik pribadi.
Sistem ekonomi Islam mencakup beberapa segi dan mempunyai ketergantungan dengan beberapa disiplin ilmu lainnya sebagaimana juga yang ditemukan pada studi ekonomi umum. Persolan sistem bank syari’ah hanyalah sebagian kecil dari sederetan masalah-masalah yang terdapat dalam studi ekonomi Islam.
Kendati demikian, sistem ekonomi Islam mempunayi ciri khas dibanding sistem ekonomi lain (kapitalis-sosialis). Dr. Yusuf Qordhowi, pakar Islam kontemporer dalam karyanya “Daurul Qiyam wal akhlaq fil iqtishod al-Islamy” menjelskan empat ciri ekonomi Islam, yaitu ekonomi robbani, ekonomi akhlaqy, ekonomi insani dan ekonomi wasati. Keempat ciri tersebut mengandung pengertian bahwa ekonomi Islam bersifat robbani, menjunjung tinggi etika, menghargai hak-hak kemanuisaan dan bersifat moderat.
Perkembangan Studi Islam
Sejarah perkembangan studi ekonomi Islam dapat dibagi pada empat fase:
1. Masa Pertumbuhan
Masa pertumbuhan terjadi pada awal masa berdirinya negara Islam di Madinah. Meskipun belum dikatakan sempurna sebagai sebuah studi ekonomi, tapi masa itu merupakan benih bagi tonggak-tonggak timbulnya dasar ekonomi Islam. Secara amaliyah, segala dasar dan praktek ekonomi Islam sebagai sebuah sistem telah dipraktekkan pada masa itu, tentunya dengan kondisi yang amat sederhana sesuai dengan masanya. Lembaga keuangan seperti bank dan perusahan besar (PT) tentunya belum ditemukan. Namun demikian lembaga moneter di tingkat pemerintahan telah ada, yaitu berupa Baitul Mal. Perusahaan (PT) pun telah dipaktekkan dalam skala kecil dalam bentuk musyarakah.
2. Masa Keemasan
Setelah terjadi beberapa perkembangan dalam kegiatan ekonomi, pada abad ke 2 Hijriyah para ulama mulai meletakkan kaidah-kaidah bagi dibangunnya sistem ekonomi Islam di sebuah negara atau pemerintahan. Kaidah-kaidah ini mencakup cara-cara bertransaksi (akad), pengharaman riba, penentuan harga, hukum syarikah (PT), pengaturan pasar dan lain sebagainya. Namun kaidah-kaidah yang telah disusun ini masih berupa pasal-pasal yang tercecer dalam buku-buku fiqih dan belum menjadi sebuah buku dengan judul ekonomi Islam.
Dari kitab-kitab tersebut, bila dikaji, maka akan ditemukan banyak hal tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan ekonomi Islam, baik sebagai sebuah sistem maupun keterangan tentang solusi Islam bagi problem-problem ekonomi pada masa itu.
Ibnu Hazm dalam kitabnya “Al-Muhalla” misalnya, memberi penjelasan tentang kewajiban negara menjamin kesejahteraan minimal bagi setiap warga mengara. Konsep ini telah melampaui pemikiran ahli ekonomi saat ini. Demikian pula halnya dengan karya-karya fiqih lain, ia telah meletakkan konsep-konsep ekonomi Islam, seperti prinsip kebebasan dan batasan berekonomi, seberapa jauh intervensi negara dalam kegiatan roda ekonomi, konsep pemilikan swasta (pribadi) dan pemilikan umum dan lain sebagainya.
Karya-karya Khusus Tentang Ekonomi
Meskipun permasalahan ekonomi telah dibahas secara acak pada buku-buku fiqih, namun pada pase ini terdapat juga karya-karya tentang ekonomi Islam yang membahas secara khusus tentang ekonomi. Karya-karya ini tentunya telah mendahului karya-karya ahli ekonomi Barat saat ini, sebab karya-karya kaum muslimin dalam bidang ini telah ada sejak abad ke 7 M
Karya-karya tersebut antara lain:
- Kitab Al-Khoroj, karya Abu Yusuf (wafat 182 H/762 M)
Abu Yusuf adalah seorang qadli (hakim) pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid. Pada saat iitu Harun al-Rasyid meminta beliau menulis tentang pendapatan negara dalam bentuk khoroj (sejenis pajak), zakat, jizyah dan lainnya untuk dijadikan pegangan hukum negara (semacam KUHP sekarang). Dalam mukaddimahnya, Abu Yusuf menulis: “Telah saya tulis apa yang menjadi permintaan tuan, saya pun telah menjelaskannya secara rinci. Oleh karena itu pelajarilah. Saya telah bekerja keras untuk itu dan saya berharap agar tuan dan kaum muslimin memberi masukan. Hal itu karena semata-mata mengharap ridho Allah serta takut akan azabNya. Bila kitab ini sudah jelas, saya berharap agar tuan tidak memungut pajak dengan cara-cara yang zalim dan berbuat tidak baik terhadap rakyat tuan”.
- Kitab Al-Khoroj, karya Imam Yahya al-Qursyi (204 H/774 M)
- Kitab Al-Amwal, karya Abu Ubaid bin Salam (wafat 224 H/774 M)
Kitab ini telah banyak ditahkik dan dita’liq (dikomentari) oleh Muhammad Hamid Al-Fahi, salah seorang ulama Al-Azhar. Kitab ini pun termasuk kitab terlengkap dalam membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan harta di Daulah Islamiyah.
Al-Iktisab Fi al-Rizqi, karya Imam Muhammad al-syaibani (wafat 334 H/815 M)
Dan karya-karya lainnya seperti karya Ibnu Kholdun, Al-Maqrizi, Al-Aini dan lain-lain
Di penghujung abad 14 dan 15 M merupakan titik awal bagi adanya aliran keilmiahan dalam bidang ekonomi modern. Bahkan Syaikh Mahmud Syabanah, mantan wakil rektor Al-Azhar menyatakan bahwa kitab “Mukaddimah” karya Ibnu Kholdun yang terbit pada tahun 784 H atau sekitar abad 13 hingga 14 M adalah bentuk karya yang mirip dengan karya Adam Smith. Bahkan dalam karyanya, ibnu Kholdun juga menulis tentang asas-asas dan berkembangnya peradaban, produktifitas sumber-sumber penghasilan, bentu-bentuk kegiatan ekonomi, teori harga, migrasi penduduk dan lain-lain. Sehingga isi kedua karya ini hampir sama. Perbedaannya hanya terletak pada kondisi dan lingkungan.
3. Masa Kemunduran
Dengan ditutupnya opintu ijihad, maka dalam menghadapi perubahan sosial, prinsip-prinsip Islam pada umumnya dan prinsip ekonomi khususnya, tidak berfungsi secara optimal, karena para ulama seakan tidak siap dan berani untuk langsung menelaah kembali sumber asli tasyri’ dalam menjawab perubahan-perubahan tersebut. Mereka lebih suka merujuk pada pendapat imam-imam mazdhab terdahulu dalam mengistimbat suatu hukum, sehingga ilmu-ilmu keislaman lebih bersifat pengulangan dari pada bersifat penemuan.
Tradisi taklid ini menimbulkan stagnasi (kejumudan) dalam mediscover ilmu-ilmu baru, khususnya dalam menjawab hajat manusia di bidang ekonomi. Padahal ijtihad adalah sumber kedua Islam setelah al-Quran dan as-Sunnah. Dan pukulan telak terhadap Islam adalah ketika ditutupnya pintu ijtihad tersebut.
4. Masa Kesadaran Kembali
Sejak ditutupnya pintu ijtihad pada abad 15 H, hubungan antara sebagian masyarakat dengan penerapan syariat Islam yang sahih menjadi renggang. Sebagaimana juga telah terhentinya studi-studi tentang ekonomi Islam, hingga sebagian orang telah lupa sama sekali, bahkan ada sebagian pihak yang mengingkari istilah “ekonomi Islam”. Ajaran Islam akhirnya terpojok pada hal-hal ibadah mahdloh dan persoalan perdata saja. Lebih ironis lagi sebagian hal itu pun masih jauh dari ajaran Islam yang benar.
Namun demikian, meskipun studi ilmiah modern dalam bidang ekonomi masih sangat terbatas, namun usaha-usaha telah dilakukan, antara lain:
Pertama, studi ekonomi mikro. Dalam hal ini studi terfokus pada masalah-masalah yang terpisah, seperti pembahasan tentang riba, monopoli, penentuan harga, perbankan, asuransi kebebasan dan intervensi pemerintah pada kegiatan ekonomi dan lain-lain. Langkah ini terlihat dari diadakannya beberapa seminar dan muktamar, antara lain:
Muktamar Internasional tentang fiqih Islam
Pada Muktamar Fiqih Islam pertama yang diadakan di Paris tahun 1951 dibahas masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi, riba dan konsep pemilikan.
Muktamarr Fiqih Islam kedua diadakan di Damaskus pada bulan April 1961. Dalam muktamar tersebut dibahas tentang asuransi dan sistem hisbah (pengawasan) menurut Islam.
Muktamar Fiqih Islam ketiga diadakan di Kairo pada Mei 1967, membahas tentang asuransi sosial (takaful) menurut Islam
Muktamar Fiqih Islam keempat diadakan di Tunis pada bulan Januari 1975, membahas masalah pemalsuan dan monopoli.
Muktamar Fiqih Islam kelima diadakan di Riyadh pada bulan Nopember 1977 membahas tentang sistem pemilikan dan status sosial menurut Islam.
Muktamar Fiqih Islam sedunia, diadakan di Riyadh juga yang diorganisir oleh Universitas Imam Muhammad bin Saud pada tanggal 23 Oktober hingga Nopemebr 1976, membahas tentang perbankan Islam antara teori dan praktek dan pengaruh penerapan ekonomi Islam di tengah-tengah masyarakat.
Muktamar Lembaga Riset Islam di Kairo. Dalam hal ini sedikitnya telah delapan kali mengadakan muktamar yang membahas tentang ekonomi Islam.
Pertemuan studi sosiologi negara-negara Arab.
Seminar Dewan Pembinaan Ilmu Pengetahuan, satra dan sosial (seksi ekonomi dan keuangan). Muktamar Ekonomi Islam Internasional, antara lain: Muktamar Ekonomi Islam Sedunia pertama , diadakan di Makkah pada tanggal 21-26 Pebruari 1976 dan Muktamar ekonomi Islam, diadakan di London pada bulan Juli 1977.
Hingga saat ini buku-buku tentang ekonomi Islam, baik dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris serta bahasa lainnya dapat kita temukan di toko-toko buku. Buah dari semaraknya studi-studi ekonomi Islam ini membuahkan berdirinya bank-bank Islam, baik dalam skala nasional maupun internasional. Dalam skala internasional misalnya, telah berdiri Islamic Development Bank (IDB/Bank Pembangunan Islam) yang kantornya berkedudukan di Jeddah Saudi Arabia. Dalam agreemen establishing the islamic Development Bank (anggaran dasar IDB) pada article 2 disebutkan bahwa salah satu fungsi dan kekuatan IDB pada ayat (xi) adalah melaksanakan penelitian untuk kegiatan ekonomi, keuangan dan perbankan di negara-negara muslim dapat sejalan dengan syari’ah. IDB juga telah memberikan bantuan teknis, baik dalam bentuk mensponsori penyelenggaraan seminar-seminar ekonomi dan perbankan Islam di seluruh dunia maupun dalam bentuk pembiayaan untuk tenaga perbankan yang belajar di bank Islam serta tenaga ahli bank yang ditempatkan di bank Islam yang baru berdiri.
Bukti lain maraknya pelaksanaan ekonomi Islam adalah laporan dari data yang diambil dari Directory Of Islamic Financial Institutions tahun 1988 terbitan IRTI/IDB bahwa sedikitnya telah 32 bank Islam berdiri (sebelum Bank Muamalat Indonesia berdiri) di seluruh dunia, termasuk di Eropa. Bila di Indoneisa banyak bank konvensional beralih bentuk ke bank syari’ah, berarti pertumbuhan bank syari’ah semakin cepat dan diminati oleh kalangan usahawan, belum lagi pertumbuhan bank syari’ah di negara lain dalam dekade ini, seperti di Malaysia dan negara-negara Islam lainnya.
E. Kemunculan Pemikiran dan Mazhab Ekonomi Islam Modern
Pada era modernis, ekonomi Islam mulai dirajut kembali untuk dimunculkan sebagai sebuah konsep ilmu teoritis maupun aplikatif. Pembagian mazhab alur pemikiran Ekonomi Islam muncul dalam tiga mazhab. Mazhab Baqir As Sadr, Mainstream, dan alternatif Kritis. Hal yang melatarbelakangi pembagian ketiga mazhab ini adalah adanya perbedaan pendapat akan adanya konsep apa dan bagaimana ekonomi Islam. Akan tetapi, belum secara pasti dapat dibuktikan bahwa aplikasi konsep dan teori ekonomi Islam di masyarakat saat ini adalah sudah cukup dinaungi oleh ketiga mazhab tersebut diatas.
Dalam bahasan ekonomi Islam modern, Sudarsono (2008) membagi fase perkembangan ekonomi Islam modernis dalam dua bagian . Fase pertama (sebelum 1970-an) kebanyakan sarjana ekonomi Islam lebih condong pada pewacanaan pendekatan normatif dan teknis kelembagaan. Sedangkan, fase kedua (1980) sarjana muslim lebih memfokuskan diri pada usaha merumuskan aspek filosofis dan metodologi ekonomi Islam.
Upaya pemunculan kembali ekonomi Islam ditengah masyarakat dunia dengan tawaran konseptual keilmuan dan sistem ekonomi yang seolah nampak baru mulai diupayakan secara masif semenjak abad modernis, khususnya seperti halnya yang telah terjadi di Indonesia, ekonomi Islam telah terasa masif semenjak munculnya kegiatan perbankan syariah di Indonesia yang dipelopori oleh Bank Muamalat Indonesia.
Dalam perkembangannya ekonom-ekonom muslim tidak menghadapi masalah perbedaan pendapat yang berarti. Namun ketika mereka diminta untuk menjelaskan apa dan bagaimanakah konsep ekonomi Islam itu, mulai muncullah perbedaqaan pendapat. Sampai saat ini, pemikiran ekonom-ekonom muslim kontemporer dapat kita klasifikasikan setidaknya menjadi tiga mazhab, yakni:
• Mazhab Baqir as-Sadr, Baqr As Shadr
• Mazhab mainstream; Umar Chapra, As Siddiqi, etc.
• Mazhab Alternatif-kritis
Masing-masing dari ketiga mazhab diatas telah memiliki ciri menonjol yang bisa saling berkonfrontasi, sepertihalnya mainstream yang terlihat paling moderat karena sikapnya terhadap teori ekonomi konvensional yang tidak semata-mata dihapus, melainkan dipilah berdasarkan prinsip metodologi teori ekonomi Islam jika didapatkan sesuatu yang tidak salah dan dibolehkan atau dibenarkan maka hal itu dilaksanakan, dan apabila ada yang salah maka hal itu dihilangkan. Begitu juga sikapnya terhadap permasalahan pangkal dari sebuah teori ekonomi berupa scrachity (kelangkaan) yang titik tolaknya pada dasarnya sama, melainkan lebih pada pola distribusinya. Hal ini berbeda sama sekali dengan As Shadr, yang sampai tegasnya mazhab ini berpendapat bahwa jika, ingin dinamakan dengan ekonomi Islam, seharusnya tidak perlu pakai istilah ekonomi melainkan dengan istilah yang berubah total yakni iqtishoduna. Permasalahan ini, dikarenakan mazhab as Sadhr tidak menyetujui jika, permasalahan ekonomi adalah sama dengan konvensional yakni pada kelangkaan sumber daya. Sebab menurut mazhab ini, pada dasarnya Allah telah menurunkan secara jelas ayat yang menegaskan bahwa sumber daya yang ada itu pada dasarnya sudah cukup, tinggal bagaimana manusia mengolahnya dan mendistribusikannya. Sedangkan mazhab kritis, lebih pada analisa mendalam mengenai hasil temuan-temuan sistem ekonomi yang ada termasuk ekonomi Islam untuk dikritisi kembali dan secara terus menerus.
Diantara ketiga mazhab ini, jika dikaji berdasarkan teori dialektika dan sebuah kesatuan metodolgi bukanlah tiga teori yang sebenarnya layak untuk menimbulkan klaim hingga pada akhirnya menimbulkan terjadi konflik dialektika teori yang meruncing. Akan tetapi, dari ketiga mazhab ekonomi Islam ini, pada dasarnya memiliki sebuah kesatuan dan mampu untuk saling mengisi satu sama lain yang didasarkan dari peran teori yang diusung oleh masing-masing mazhab.
Sepertihalnya kekurangan pada mazhab mainstream yang cenderung mudah disalah persepsikan sebagai ekonomi minus riba plus zakat dapat untuk kemudian ditegaskan kembali oleh mazhab As Shadr dan dikoreksi secara terus menerus oleh alternatif kritis.
Teori pada dasarnya akan mengalami evolusi melalui pelestarian, inovasi, dan kepunahan, maka terdapat suatu proses evolusi dalam sejarah manusia. Proses ini ditandai dengan dua kecenderungan, yakni adanya keanekaragaman dan kemajuan. keanekaragaman mengacu kepada kenyataan bahwa jumlah dan aneka ragam masyarakat sangat meningkat, dan pola-pola adaptasi manusia semakin lama semakin berbeda-beda. Sementara kemajuan tidak mengacu kepada peningkatan kebahagiaan atau moralitas tetapi kepada perkembangan teknologi dan kepada perubahan organisasi dan ideologi yang terjadi bersamaan dengan perkembangan teknologi.
Geliat Kemunculan Proptotipe Ekonomi Islam Modern, sebagai penutup
Keuangan Islam bukanlah temuan dari gerakan politik ekstrim Islam abad ini, namun bersumber dari perintah yang ada dalam al Quran dan sunnah Nabi Muhammad. Keyakinan-keyakinan pokok hukum Islam yang bersumber wahyu berkenaan dengan urusan perdagangan ini merupakan bagian dari agama yang sama nilainya dengan pernikahan. Hukum Islam telah mengambil serangkaian ketentuan yang saling terkait dari kitab suci yang melarang pengambilan bunga dan praktek spekulasi yang tidak wajar. Pada abad pertengahan, kedua praktek tersebut dianggap sebagai perbuatan dosa sekaligus melanggar hukum, dan benar-benar dihindari. Praktek keuangan dalam bentuk Islam yang berumur ratusan tahun tersebut sebagia besar mengalami kemunduran selama kurun waktu kekaisaran kolonial Eropa, keitka hampir seluruh dunia Islam berada di bawah kekuasaan Barat. Di bawah pengaruh negara-negara Eropa, sebagain besar negara mengadopsi sistem perbankan dan model perusahaan yang terilhami Barat serta meninggalkan praktek-praktek perdagangan Islam. Dengan demikian, periode modern keuangan Islam dimulai ketika negara-negara Islam mendapatkan kemerdekaan setelah Perang Dunia Kedua.
Lembaga Keuangan Islam paling awal tercatat adalah Mit Ghamr Project. Lembaga ini didirikan di Mesir pada 1963 dan segerak diikuti oleh Nasser Social Bank pada 1971. Tonggak sejarah berikutnya adalah pendirian, berdasarkan Organisasi Konferensi Islam (OKI), The Multinational IDB PADA 1973. Selama 70-an banyak lembaga keuangan Islam didirikan di sejumlah negara-sebagian merupakan lembaga pemerintahan, sebagain merupakan lembaga yang berbagi kepemilikan antara pemerintah dengan swasta, dan sebagain lagi adalah lembaga swasta.
Gelombang jatidiri Islam yang lebih kuat telah memberikan dorongan positif yang lain bagi penerapn prinsip-prinsip Islam dalam bisnis dan keuangan. Karena jenuh dengan politik dan kebudayaan Barat, dan diilhami oleh kesalehan relijius, sejumlah Muslim taat yang terus bertambah jumlahnya berusaha untuk menyesuaikan kehidupa mereka di dunia modern dengan ajaran agamanya. Berakhirnya kolonialisme dan munculnya trend keberagamaan telah merangsang kebangkitan kembali keuangan Islam.
F. Tokoh-Tokoh
1. Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah yang bernama lengkap Taqayuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir di kota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabiul Awwal 661 H). Ia berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi. Ayah, paman dan kakeknya merupakan ulama besar Mazhab Hanbali dan penulis sejumlah buku.
Karena kecerdasan dan kejeniusannya, Ibnu Taimiyah yang berusia masih sangat muda telah mampu menamatkan sejumlah mata pelajaran, seperti tafsir, hadits, fiqih, matematika, dan filsafat, serta berhasil menjadi yang terbaik diantara teman-teman seperguruannya. Guru Ibnu Taimiyah berjumlah 200 orang, diantaranya adalah Syamsuddin Al-Maqdisi, Ahmad bin Abu Al-Khair, Ibn Abi Al-Yusr, dan Al-Kamal bin Abdul Majd bin Asakir.
Ketika berusia 17 tahun, Ibnu Taimiyah telah diberi kepercayaan oleh gurunya, Syamsuddin Al-Maqdisi, untuk mengeluarkan fatwa. Pada saat yang bersamaan, ia juga memulai kiprahnya sebagai seorang guru. Kedalamannya ilmu Ibnu Taimiyah memperoleh penghargaan dari pemerintah pada saat itu dengan menawarinya jabatan kepala kantor pengadilan. Namun, karena hati nuraninya tidak mampu memenuhi berbagai batasan yang ditentukan oleh penguasa, ia menolak tawaran tersebut.
Kehidupan Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada dunia buku dan kata-kata. Ketika kondisi menginginkannya, tanpa ragu-ragu ia turut serta dalam dunia politik dan urusan publik. Dengan kata lain, keistimewaan diri Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada kepiawainnya dalam menulis dan berpidato, tetapi juga mencakup keberaniannya dalam berlaga dimedan perang.
Penghormatan yang begitu besar yang diberikan masyarakat dan pemerintah kepada Ibnu Taimiyah membuat sebagian orang merasa iri dan berusaha untuk menjatuhkan dirinya. Sejarah mencatat bahwa sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyah telah menjalani masa tahanan sebanyak empat kali akibat fitnah yang dilontarkan para penentangnya.
Selama dalam tahanan, Ibnu Taimiyah tidak pernah berhanti untuk menulis dan mengajar. Bahkan, ketika penguasa mencabut haknya untuk menulis dengan cara mengambil pena dan kertasnya, ia tetap menulis dengan menggunakan batu arang. Ibnu Taimiyah meninggal dunia didalam tahanan pada tanggal 26 September 1328 M (20 Dzul Qo’dah 728 H) setelah mengalami perlakuan yang sangat kasar selama lima bulan.
2. Ibnu Khaldun
a. Keuangan publik
b. Konsep harga
c. Konsep uang
d. Teori produksi
3. Zaid bin Ali
Cucu Imam Husain ini merupakan salah seorang fukaha yang paling terkenal di Madinah dan guru dari seorang ulama terkemuka, Abu Hanifah. Zaid bin Ali berpandangan bahwa penjualan suatu barang secara kredit dengan harga yang lebih tinggi daripada harga tunai merupakan salah satu bentuk transaksi yang sah dan dapat dibenarkan selama transaksi tersebut dilandasi oleh prinsip saling ridha antar kedua belah pihak.
Pada dasarnya, keuntungan yang diperoleh para pedagang dari penjualan yang dilakukan secara kredit merupakan murni bagian dari sebuah perniagaan dan tidak termasuk riba. Penjualan yang dilakukan secara kredit merupakan salah satu bentuk promosi sekaligus respon terhadap permintaan pasar. Dengan demikian, bentuk penjualan seperti ini bukan suatu tindakan di luar kebutuhan. Keuntungan yang diperoleh pedagang yang menjual secara kredit merupakan sebuah bentuk kompensasi atas kemudahan yang diperoleh seseorang dalam membeli suatu barang tanpa harus membayar secara tunai.
Hal tersebut tentu berbeda dengan pengambilan keuntungan dari suatu penangguhan pembayaran pinjaman. Dalam hal ini, peminjam memperoleh suatu aset, yakni uang, yang harganya tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu, karena uang itu sendiri adalah sebagai standar harga. Dengan kata lain, uang tidak dengan sendirinya menghasilkan sesuatu. Ia baru akan dapat menghasilkan jika dan hanya jika melalui perniagaan dan pertukaran dengan barang-barang yang harganya sering berfluktuatif.
Namun demikian, keuntungan yang diperoleh dari penjualan secara kredit tidak serta merta mengindikasikan bahwa harga yang lebih tinggi selalu berkaitan dengan waktu. Seseorang yang menjual secara kredit dapat pula menetapkan harga yang lebih rendah daripada harga pembeliannya dengan maksud untuk menghabiskan stok dan memperoleh uang tunai karena khawatir harga pasar akan jatuh di masa datang. Dengan maksud yang sama, seseorang dapat juga menjual barangnya, baik secara tunai ataupun kredit, dengan harga yang lebih rendah daripada harga pembeliannya.
Hal yang terpenting dari permasalahan ini adalah bahwa dalam syariah, setiap baik buruknya suatu akad ditentukan oleh akad itu sendiri, tidak dihubungkan dengan akad yang lain. Akad jual beli yang pembayaranya ditangguhkan adalah suatu akad tersendiri dan memiliki hak sendiri untuk diperiksa apakah adil atau tidak, tanpa dihubungkannya dengan akad lain. Dengan kata lain, jika diketemukan fakta bahwa dalam suatu kontrak yang terpisah, harga yang dibayar tunai lebih rendah, hal itu tidak mempengaruhi keabsahan akad jual beli kredit dengan pembayaran yang lebih tinggi, karena kedua akad tersebut ndependent dan berbeda satu sama lain.
4. Abu Hanifah
Abu Hanifah merupakan seorang fuqaha terkenal yang juga seorang pedagang di kota Kufah yang ketika itu merupakan pusat aktivitas perdagangan dan perekonomian yang sedang maju dan berkembang. Semasa hidupnya, salah satu transaksi yang sangat populer adalah salam, yaitu menjual barang yang akan dikirimkan kemudian sedangkan pembayaran dilakukan secara tunai pada waktu akad disepakati. Abu Hanifah meragukan keabsahan akad tersebut yang dapat mengarah kepada perselisihan. Ia mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan merinci lebih khusus apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam akad, seperti jenis komoditi, mutu, dan kuantitas serta waktu dan tempat pengiriman. Ia memberikan persyaratan bahwa komoditi tersebut harus tersedia di pasar selama waktu kontrak dan tanggal pengiriman sehingga kedua belah pihak mengetahui bahwa pengiriman tersebut merupakan sesuatu yang mungkin dapat dilakukan.
Pengalaman dan pengetahuan tentang dunia perdagangan yang didapat langsung Abu Hanifah sangat membantunya dalam menganalisis masalah tersebut. Salah satu kebijakan Abu Hanifah adalah menghilangkan ambiguitas dan perselisihan dalam masalah transaksi. Hal ini merupakan salah satu tujuan syariah dalam hubungannya dengan jual beli. Pengalamannya di bidang perdagangan memungkinkan Abu Hanifah dapat menentukan aturan-aturan yang adil dalam transaksi ini dan transaksi yang sejenis.
Di samping itu, Abu Hanifah mempunyai perhatian yang besar terhadap orang-orang yang lemah. Ia tidak akan membebaskan kewajiban zakat terhadap perhiasan dan, sebaliknya, membebaskan pemilik harta yang dililit utang dan tidak sanggup menebusnya dari kewajiban membayar zakat. Ia juga tidak memperkenankan pembagian hasil panen (muzara'ah) dalam kasus tanah yang tidak menghasilkan apa pun. Hal ini dilakukan untuk melindungi para penggarap yang umumnya adalah orang-orang yang lemah.
5. Abu Yusuf
Penekanan terhadap tanggung jawab penguasa merupakan tema pemikiran ekonomi Islam yang selalu dikaji sejak awal. Tema ini pula yang ditekankan Abu Yusuf dalam surat panjang yang dikirimkannya kepada Penguasa Dinasti Abbasiyah, Khalifah Harun al-Rasyid. Di kemudian hari, surat yang membahas tentang pertanian dan perpajakan tersebut dikenal sebagai Kitab al-Kharaj.
Abu Yusuf cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Dalam pandangannya, cara ini lebih adil dan tampaknya akan memberikan hasil produksi yang lebih besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah garapan. Dalam hal pajak, ia telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas yang berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Kesanggupan membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak dan sentralisasi pembuatan keputusan dalam adminisitrasi pajak adalah beberapa prinsip yang ditekankannya.
Abu Yusuf dengan keras menentang pajak pertanian. la menyarankan agar petugas pajak diberi gaji dan perilaku mereka harus selalu diawasi untuk mencegah korupsi dan praktek penindasan.
Poin kontroversial dalam analisis ekonomi Abu Yusuf ialah pada masalah pengendalian harga (tas'ir). Ia menentang penguasa yang menetapkan harga. Argumennya didasarkan pada sunnah Rasul. Abu Yusuf menyatakan bahwa hasil panen yang berlimpah bukan alasan untuk menurunkan harga panen dan, sebaliknya, kelangkaan tidak mengakibatkan harganya melambung. Pendapat Abu Yusuf ini merupakan hasil observasi. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada kemungkinan kelebihan hasil dapat berdampingan dengan harga yang tinggi dan kelangkaan dengan harga yang rendah. Namun, di sisi lain, Abu Yusuf juga tidak menolak peranan permintaan dan penawaran dalam penentuan harga.
Penting diketahui, para penguasa pada periode itu umumnya memecahkan masalah kenaikan harga dengan menambah suplai bahan makanan dan mereka menghindari kontrol harga. Kecenderungan yang ada dalam pemikiran ekonomi Islam adalah membersihkan pasar dari praktek penimbunan, monopoli, dan praktek korup lainnya dan kemudian membiarkan penentuan harga kepada kekuatan permintaan dan penawaran. Abu Yusuf tidak dikecualikan dalam hal kecenderungan ini.
Kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah keuangan publik. Terlepas dari prinsip-prinsip perpajakan dan pertanggungjawaban negara Islam terhadap kesejahteraan rakyatnya, ia memberikan beberapa saran tentang cara-cara memperoleh sumber perbelanjaan untuk pembangunan jangka panjang, seperti membangun jembatan dan bendungan serta menggali saluran-saluran besar dan kecil.
Sumber:
http://anakmami93.blogspot.com/2013/04/asal-usul-perkembangan-ekonomi-islam.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar